top of page
Writer's pictureSimpul Group

2020 Sucks but At Least We Learned Something

Tahun 2020 bukanlah tahun yang baik bagi kita. Semua rencana yang telah disusun dengan matang terpaksa harus diatur lagi atau bahkan harus dibatalkan karena adanya virus yang mewabah di seluruh penjuru dunia.


Meski tahun sudah berganti, bukan berarti semua yang terjadi akan hilang begitu saja. Sekalipun vaksin sudah tersedia secara luas, terowongan yang dinamakan pandemi ini masih belum terlihat ujungnya. Kewaspadaan masih terus menjadi kunci. Jangan sampai pandemi masuk lingkaran terdekat bahkan keluarga baru kemudian kesadaran untuk lebih berhati-hati menghampiri kita.


Iya, menyebalkan memang. Kita masih harus bertahan, tapi paling tidak, pasti ada pembelajaran yang bisa kita petik, entah itu tentang kehidupan, diri sendiri, orang lain, atau apa pun. Untuk itu, saya meminta prajurit-prajurit Simpul Group untuk membagikan insight yang mereka dapatkan dari tahun lalu. Siapa tahu pencerahan-pencerahan tersebut bisa bermanfaat bagi orang lain.


 

Adam

Saat awal-awal pandemi muncul, banyak ungkapan bahwa ini adalah balasan dari alam, bahwa kita terlalu mengeksploitasinya. Ini saatnya kita merenung.


Ya, kenapa kita harus menerima balasan ini terlebih dahulu sebelum seharusnya bisa diprediksi oleh sains. Kenapa kita harus merenung sebelum seharusnya kita bersyukur, dengan maupun tanpa Covid-19.


Orang-orang kelas menengah ngehe sibuk bersuara di internet, menambah riak, mengambil hikmah serta belajar akan apa-apa yang telah terjadi. Enggak semuanya sih. Ada juga yang melakukan gerakan-gerakan jalanan dan buka donasi. Tapi melihat mereka yang kekurangan hanya bisa pasrah, tak ada lagi pilihan.


Namun, tulisanku ini juga hanya menambah riak, dan hidup tetap begitu saja.



Handoko

Menilai reaksi orang-orang dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini, saya jadi lebih bisa menyaring mana teman yang nalarnya berfungsi dan mana yang tidak menganggap pandemi ini dengan serius.


Pernah saat berbincang dengan salah seorang teman ia mengajak saya untuk nongkrong di sebuah coffee shop di tengah kota. Tentunya saya tolak karena risiko saya terjangkit Covid-19 atau menjadi OTG (Orang Tanpa Gejala) yang malah menjadi carrier bagi orang lain yang harus saya tanggung tidak sepadan dengan ajakan ngobrol-ngobrol santai di sore hari. Lalu, apa respons yang mereka berikan atas jawaban saya? “Ah, elah gitu doang, enggak asyik, lu,” begitu ucapnya.


Kini saya tahu mana orang yang perlu dijaga jaraknya, mana yang perlu saya masukkan ke dalam lingkar pertemanan yang berarti. Saya doakan yang terbaik untuk mereka dan mengucap dalam hati, “Sehat-sehat terus, ya, Bro/Sis,” sambil tersenyum.



Namira

Kalau bisa diringkas menjadi satu kata, maka 2020 = menyadarkan. Bahwa waktu 24 jam itu panjang. Kalau dulu mungkin dihabiskan dengan berangkat kerja jam 9 pagi sampai rumah jam 9-10 malam. Kini bangun jam 8 pagi bisa diisi dengan berjemur, kerja, diselingi masak, mandi, stretching sore, malam ditutup ngobrol serumah, sebelum tidur bisa baca buku dulu, berkarya lebih giat, baru terlelap. Lalu kemudian tebersit, selama ini sebelum pandemi, 24 jam itu hilang ke mana?


Membuka mata bahwa kebiasaan mandi dua kali sehari, keramas setiap hari, selalu pakai jaket dan masker tiap naik kendaraan umum ternyata melatih diri beradaptasi dengan lebih cepat di masa yang menuntut diri ekstra waspada.


Mendorong diri untuk lebih berani menentukan pilihan. Berkata tidak pada ajakan yang bertolak belakang dengan kehendak hati. Punya sikap walau seringnya berbeda dari kebanyakan ternyata bisa menyelamatkan.


Mengetuk hati bahwa bersyukur tidak hanya perkara rezeki berbalut materi dan hal-hal mewah luar biasa, tapi pada kenyataan masih punya pekerjaan, masih bisa membantu orang lain, masih diberi kesehatan, dan masih-masih lainnya yang mungkin selama ini dinikmati secara cuma-cuma.


Mengajak untuk lebih banyak melihat sekeliling. Karena walau COVID-19 mengajarkan untuk “mengisolasi” dan “menjaga” diri, tapi virus ini juga mengingatkan bahwa masih ada orang lain di luar sana yang perlu dirangkul. Dirangkul agar mengerti kondisi, dirangkul agar bisa melangkah bersisian walau beda tujuan, dirangkul agar bisa bertahan bersama melalui waktu yang tidak mudah.



Aditya

Di masa pandemi, saya semakin memahami pentingnya keseimbangan dalam hidup. Awal tahun lalu, saat pandemi mulai muncul ke permukaan dan banyak dari kita mulai menjalani masa-masa isolasi mandiri, saya sangat menikmati waktu sendiri. Alasannya, di kota metropolitan yang penuh dengan aspirasi seperti Jakarta, kita terlalu terbiasa dengan kesibukan dan keriuhan, sehingga kita lupa untuk sesekali menarik diri. Kesendirian menjadi sebuah kemewahan, dan kejenuhan itu nyata adanya.


Tetapi sekarang, saat kesendirian menjelma menjadi lubang hitam yang menarik diri kita semakin dalam, saya mulai merindukan keramaian.


Keramaian yang saya maksud di sini adalah interaksi-interaksi sosial yang kompleks dan penuh dengan konflik, ketidakpastian, dan yang sebelumnya saya pahami sebagai kebanalan. Akhirnya saya semakin memahami, bahwasanya hidup itu memang pada dasarnya adalah serangkaian kontradiksi, yang mana tanpa kehadiran satu dan lainnya, hidup akan kehilangan maknanya. Dan tugas kita, adalah mengatur proporsi/kadarnya saja.



Tita

Aku belajar bahwa kenyamanan adalah jebakan paling mematikan. Dari awal sampai tengah masa pandemi, aku sendiri lebih banyak tidak melakukan apa-apa selain bekerja, hidup begitu saja tanpa karya yang berarti untuk diri sendiri. Terpengaruh oleh beberapa influencer yang bilang, “Enggak apa, kapasitas orang beda-beda. Lo enggak selalu harus produktif.”


Lima bulan Covid-19 berlanjut, aku sadar bahwa selama ini aku terjebak dalam kenyamanan dan kehati-hatian. Banyak kegiatan atau langkah yang tidak diambil dengan alasan, “Enggak apa, keadaannya juga lagi kayak gini.”


Delapan bulan kemudian, rasa takut mulai menjalar, aku akhirnya sadar kalau selama ini aku terlalu nyaman hingga akhirnya malas. Malas yang dilindungi pikiran, “Nanti saja mikirnya, kalau sudah enggak begini.” Akhirnya 2020 terbuang sia-sia, dan awal 2021 diselubungi dengan insecurity. Positifnya, realisasi ini menjadi pijakanku untuk keluar dari area nyaman dan mendorongku untuk tetap berkomunikasi dan berkolaborasi untuk menghasilkan sesuatu. Sambil berdoa, semoga setelah pandemi ini selesai, pertemuan fisik bisa dilakukan untuk menghasilkan karya yang lebih hebat lagi.



Rizqi

Selama tahun pandemi (2020) aku disadarkan bahwa ternyata sehat itu mahal. Lihat saja harga hand sanitizer dan masker di awal pandemi. Terlebih hal-hal sederhana sekarang sulit untuk dilakukan. Mungkin setelah pandemi ini selesai pun orang akan sulit untuk keluar rumah tanpa masker, ke mall dengan bebas tanpa diburu jam operasional yang terbatas, keluar masuk suatu tempat tanpa perlu antre cek suhu tubuh, tidak perlu khawatir makan pecel di pinggir jalan meskipun hand sanitizer lupa dibawa dan hanya dengan cuci tangan di air kobokan yang telah disediakan, naik motor tanpa masker, dan duduk tanpa perlu memikirkan jarak di tempat makan.


Hal seperti itu nyatanya sekarang menjadi momen yang langka untuk terulang kembali, bahkan mungkin sulit untuk kembali seperti keadaan semula. Lewat jargon “new normal” yang kerap digaungkan, kita dituntut untuk mengadaptasi kebiasaan yang baru. Belajar ternyata hal sederhana sekecil apa pun akan sulit kita apresiasi kalau belum pernah berhadapan dengan kehilangan.



Fryza

Pandemi membuat saya merasa kebutuhan untuk menjadi fleksibel sangat tinggi yang sekaligus mendorong keberanian yang tadinya cuma api kecil jadi api unggun.


Fleksibel karena kita mesti beradaptasi sana sini, mulai dari beradaptasi ruang di rumah yang harus dibagi dengan anggota keluarga lain yang bekerja, lentur dalam persoalan waktu kerja karena bisa saja tiap masing-masing tim memiliki kondisi berbeda di rumahnya apalagi ditambah supermarket yang tutup lebih cepat, cekatan dalam keputusan bisnis karena harus menyesuaikan dengan kondisi tiap bulannya.


Berani karena tanpa keberanian ini kita hanya dihadapkan dengan rasa takut akan ketidakpastian. Saya jadi berani mengambil keputusan, berani mendekati orang-orang yang tidak disangka, dan lain sebagainya.


Walaupun tidak ada yang pasti baik dalam hidup pra-pandemi maupun pasca-pandemi nanti cuma kita yang bisa meningkatkan persentase suatu kejadian, yaitu dengan berani bertindak serta fleksibel dalam menghadapi dampaknya.



Kresna

Karena memang pada dasarnya gue enggak begitu suka kemana-mana, sejujurnya pandemi ini kalau dari segi mentalitas (paling tidak) gue sendiri cukup baik-baik saja. Yang cukup mengganggu adalah berita-berita duka di luar sana, karena cepat atau lambat pandemi ini semacam antri menunggu “giliran”, entah kita atau orang terdekat kita pasti ada yang terpapar.


Mengakali keriuhan berita negatif yang nampaknya tidak bisa dihindari saat ini, gue mencoba menggali-gali “rekaman lama” lagi. Mencoba untuk mencari kira-kira ada hal apa yang dulu gue pernah suka banget tapi kemudian gue endapkan karena mungkin hal itu kurang relevan dengan apa yang gue kerjakan sekarang. Alhasil cukup menyenangkan; gue menemukan hal-hal sederhana yang dulu bisa membuat gue lupa waktu di saat mengerjakannya. Gue mencoba mendapatkan perasaan itu lagi di masa ini.


Dari pandemi ini gue belajar bahwa merekam hal apa saja yang kira-kira membuat gue lupa waktu saat mengerjakannya itu penting. Hal-hal yang sejatinya cuma “mampir”, karena pada akhirnya hidup memaksa gue untuk selalu bergerak dan kadang hal sederhana itu tertinggal.




 

-HL


26 views0 comments

Recent Posts

See All

Комментарии


bottom of page