top of page

Dialog Aku dan Ibu Kota di Penghujung Hari

Sore itu, tidak seperti biasa. Mungkin sudah 3 bulan terakhir aku tak menuntaskan rutinitas lepas Isya sebelum pulang naik KRL yang masih saja sesak padat meski sudah lewat pukul 8 malam.


Hari ini, setelah kurang-lebih 3 bulan #dirumahaja, aku pun kembali ke kantor.


Mungkin karena jam kerjaku yang agak santai, saat ini sekitar pukul 9 lewat 27 menit, Stasiun Kebayoran cukup lenggang. Tidak seperti hari-hari sebelum Covid-19 menjadi momok yang menakutkan. Melangkahkan kaki keluar stasiun pun tidak terasa sesak seperti biasanya, angkot dan ojek online yang bergerombolan di ujung rel memang masih sama banyaknya, tapi tak ada penumpukan terlihat, orang yang berlalu lalang pun terasa mengendur.


Perjalanan dengan ojek online yang biasanya sarat kemacetan sepanjang sisi Pasar Mayestik pun kini tak separah itu. Paling menumpuk karena lampu merah, sisanya hingga Blok A nyaris berjalan mulus tanpa hambatan.


“Mbak, jalanannya ditutup nih, berarti harus muter, ya?” suara si abang ojek memecah keheninganku memandangi jalan yang kosong.


“Oh, enggak usah, Bang. Di sini aja, saya jalan aja deket kok. Kalau muter jauh lagi,” kataku tanpa ragu.


Setelah sedikit diskusi dengan si abang ojek yang merasa tak enak menelantarkanku di pinggir jalan berujung pada kesepakatan bersama, aku melangkah mantap melewati portal demi portal yang menutup jalan menuju kantor.


Ngapain sih panas-panasan?


Sederhana. Aku menikmati kesendirian di tengah sebuah perjalanan. Seringnya saat pulang dan pergi kantor yang sudah sekian lama direnggut begitu saja dariku karena pandemi.


Itulah kenapa aku merindukan sore yang seperti biasa. Saat lepas jam kantor menapaki tangga demi tangga stasiun MRT, dengan pasti mengarah ke Bundaran HI. Berpacu dengan mereka yang dikejar waktu. Beriringan dengan mereka yang mengejar janji di penghujung hari.


Sesampainya di Bundaran HI, aku biasanya memilih sebuah kursi di pinggiran trotoar depan Plaza Indonesia atau Hotel Indonesia Kempinski. Jajaran kursinya banyak yang kosong dan bonusnya pemandangan meriah Monumen Selamat Datang yang berdiri gagah, sesekali berbalut air mancur dan lampu warna-warni.


Tidak banyak yang kulakukan jika tiba waktunya berdiam diri beberapa saat di bangku-bangku itu. Khidmat rasanya menikmati wajah ibu kota lepas Isya. Saat jam kantor sudah usai dan waktunya warga Jakarta menikmati sisa hari yang masih bisa direngkuh.


Sebagian orang bergerombolan turun dari Transjakarta, sebagian lain menanti ojek online yang tak kunjung datang, beberapa lainnya muncul dari bawah tanah selepas berkendara dengan MRT. Belum lagi terlihat beberapa pegawai kantoran yang berkumpul hendak menyebrang dari Plaza Indonesia ke Grand Indonesia. Ragam rupa wajah warga metropolitan terpampang nyata.


Pada saat itulah, aku menyadari bahwa aku hanya sebuah elemen yang teramat kecil di tengah peta Jakarta yang begitu luas. Tak perlu memikirkan betapa kecilnya aku di Indonesia apalagi di dunia. Besar dan ramainya Jakarta saja sudah cukup membuat nyali mengkeret.


“Kopinya, Neng?” sebuah suara dari abang starling mengalihkan aku dari kesyahduan memandangi air mancur.


“Boleh, Bang. Coffeemix dingin satu ya,” kataku tanpa ragu. Siapa yang bisa nolak es kopi dingin abang starling yang entah kenapa racikannya terasa lebih pas di lidah daripada buatan sendiri.

Ahsiaaap. Neng sendiri aja nih?”


“Hahaha iya, Bang. Lagi nungguin sepi dikit biar enggak rame banget di KRL.”


“Enakan di sini ya, Neng, daripada desak-desakan di kereta. Orang mah seneng banget cepet-cepetan pulang hahaha,” katanya sembari menyerahkan segelas kopi dinginku.


“Iya, Bang. Ini ya, makasih banyak, Bang,” kataku sembari menyerahkan selembar Rp5.000,00.


Ahsiaaap. Makasih ya, Neng,” katanya sembari berangsur mendorong gerobaknya menjauh.


Jelas si Abang sebenarnya enggak lagi boleh berjualan di trotoar sini. Tapi mana mungkin ia melewatkan rezeki begitu saja. Aku pun jelas tak mau melewatkan kesempatan jajan murah.

Namun, itu dulu. Masa-masa sebelum masker menjadi “pakaian” wajib saat keluar rumah. Saat jajan di luar seringnya hanya dibayangi ketakutan diare melanda. Kala mencuci tangan dan menggunakan hand sanitizer hanya sesekali jika ingat.


Kini, sebagai pelipur lara, aku tak menolak menghabiskan tambahan 5 menit untuk berjalan kaki demi sekadar menyiapkan diri sebelum kembali bertegur sapa dengan orang-orang lain. Maka portal yang ditutup terasa seperti berkah yang dikirimkan untuk memulai hari yang biasanya cukup panjang. Ditambah lagi keinginan untuk mengikuti tantangan sehat #10000stepsaday akan lebih mudah tercapai dengan begini, ‘kan?


Tak ada hari yang mudah dijalani. Sebelum dan sesudah Covid-19 melanda. Semua sama beratnya, walau mungkin kini terasa lebih berat. Mungkin karena kita belum terbiasa. Itu yang selalu aku tanamkan dalam diri untuk meredam kekhawatiran berlebih.


Jika kini aku tak lagi bisa leluasa berjalan santai dan nongkrong di bangku pinggiran Bundaran HI, mungkin aku bisa menumpang duduk sepersekian menit di peron Stasiun Kebayoran. Mungkin tak seindah air mancur dan lampu-lampu Monumen Selamat Datang, tapi kali ini wajah-wajah letih pengelana dan pencari rezeki dari kota-kota penyangga Jakarta terlihat semakin nyata.


Sama saja pada akhirnya. Mereka yang berkantor di The Plaza Thamrin dan mereka yang hendak pulang ke Maja sama-sama lelah dan diburu waktu. Aku pun tak ada bedanya. Hanya mengulur waktu sebelum KRL terakhir menjemput.


Berharap tak berpapasan dengan orang yang dikenal sepanjang jalan pulang nanti. Karena kuota bertegur sapa sudah terkuras habis dengan rangkaian conference call dan virtual meeting sepanjang hari. Aku hanya mencari kesunyian yang tersembunyi di balik toa stasiun dan lalu-lalang KRL setiap 5-10 menit sekali.


Jam sudah beranjak melewati angka 8. Sudah entah berapa banyak muka lelah yang bersitatap sepersekian detik denganku. Sementara di luar stasiun, keramaian Pasar Kebayoran kian meriah.

Kalau aku ambil gambarnya dan share di media sosial mungkin akan ramai dan hujatan tentang betapa bebalnya rakyat Indonesia akan mengalir deras. Aku mungkin sebagian kecil yang tak mau ikut menghakimi. Apa pun itu aku menyelipkan harap mereka yang sibuk beraktivitas di pasar malam itu memang tak punya pilihan lain. Karena seberapa banyak pun kita yang punya privilese berharap mereka tidak bebal, urusan perut dan desakan ekonomi bisa jadi alasan dasar aktivitas itu berlangsung.


Tak ada yang benar dan salah karena semua tergantung cara memandang. Karena bagiku tak pernah ada yang tahu apa motivasi di belakang aktivitas keluar rumah semua orang. Setidaknya, mereka dan kita yang punya privilese tak perlu ikut-ikutan memenuhi jalanan padat karena banyak cara untuk ikut mendorong roda perekonomian sekitar termasuk jajan online, beli dagangan teman, atau bertukar nomor telepon dengan tukang sayur langganan.


Tentu suara-suara ini tak pernah aku sampaikan dengan lantang. Toh, untuk apa? Hanya menambah berisik media sosial yang sudah padat sesak. Di era informasi dan digitalisasi ini aku rasa lebih banyak dibutuhkan telinga daripada mulut dan jari yang bergerak.


Aku pun melanjutkan pikiran mengembara ke sana ke mari sampai teringat betapa rindunya aku dengan cimol stasiun. Meneguhkan hati, begitu vaksin dijual bebas, aku akan kembali menyambangi si abang pedagang cimol dan menuntaskan rindu.


Dari jauh mataku tertuju pada seorang perempuan yang terlihat sedang mencari tahu. Sejenak mata kami beradu dan ia pun melangkah mendekat.


“Mbak, ini bener nunggu di sini ‘kan kalau saya mau ke Cilejit?” tanyanya setelah cukup dekat denganku.


Secara refleks aku menggeser mundur dudukku karena merasa jarak kami terlalu akrab di zaman pandemi begini, ia pun tampaknya menyadari hal itu dan mengambil dua langkah kecil ke belakang.


“Iya, bener, Mbak. Tapi setelah ini kereta yang datang tujuan Parung Panjang. Mbak harus nunggu yang setelahnya lagi tujuan Maja atau Rangkasbitung.”


“Oh, berarti saya enggak bisa naik yang setelah ini ya, Mbak?”


“Iya, Mbak, karena Cilejit itu setelah Parung Panjang, nanti harus ganti kereta lagi di sana, jadi lebih ribet.”


“Oke, makasih ya, Mbak.”


Si mbak memilih beranjak dan duduk di bangku berbeda. Satu-satunya obrolan yang tak pernah kutolak hanyalah obrolan sebatas 2-3 menit dengan orang tak dikenal. Walaupun jika hari sedang tidak berpihak padaku, satu dua kali ada saja wajah familiar yang tak mungkin diabaikan. Artinya, belum saatnya aku menikmati perjalanan pulang.


Klakson KRL yang nyaring sudah membahana. Panggilan untuk meninggalkan ibu kota sudah tiba. Hari ini memang tidak ditutup seperti biasanya, orang-orang di media sosial menyebutnya, adaptasi dengan kehidupan yang tak lagi seindah era BC (before Corona). Bagiku, adaptasi pada cara menikmati ibu kota dalam kesendirian di tempat baru.


Memang masa setelah Covid-19 tak seindah dulu, tapi bukannya masa lalu lazimnya memang lebih indah? Itulah kenapa banyak orang sulit move on.


Tapi seperti KRL yang sudah menjemputku, waktu sudah memanggil, hari terus bergulir, tak ada yang bisa kita lakukan selain ikut menunggang badai ini. Menyesuaikan dan berpacu dengan kenyataan. Seindah apa pun masa lalu, ia tak bisa begitu saja diulang, karena waktu sejatinya bergulir maju. Beradaptasi atau terlindas, hanya itu pilihannya.


Seperti ibu kota yang kejam, pada akhirnya kita yang bergelut dan mencari nafkah harus terus berpacu. Bersaing dan berupaya segenap hati untuk memenangkan kompetisi setiap harinya. Pandemi ini pun demikian. Sekali kita lengah dan memandang rendah risikonya, maka kita akan kalah, dengan telak. Seperti ketika digilas habis ibu kota yang katanya punya segudang kesempatan tapi di saat bersamaan menyisakan kita pada kosongnya ketersediaan pilihan.


Waktuku di ibu kota untuk hari ini sudah usai, tapi namaku masih tercatat dalam kompetisi besar kehidupan di antara puluhan ribu warga Jakarta lainnya.


Waktuku bertarung melawan Covid-19 masih terbentang, yang semoga kompetisinya bisa juga aku menangkan bersama puluhan ribu warga Jakarta lainnya.



“Sesaat lagi kereta Anda akan tiba di Stasiun Pondok Ranji. In the few minutes we will arrive at Pondok Ranji Station. Penumpang turun periksa kembali tiket serta barang bawaan Anda. Jangan sampai tertinggal atau tertukar di dalam rangkaian kereta. Hati-hati saat melangkah turun, perhatikan jarak antara peron dengan kereta.”


Gema lantang di seantero gerbong yang menandakan perjalananku telah usai di ibu kota untuk hari ini.(1) - ND



 

(1) Stasiun Pondok Ranji terletak di Rengas, Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Perbatasan Provinsi Banten – DKI Jakarta di rute KRL jalur Rangkasbitung/Maja/Parung Panjang/Serpong – Tanah Abang.



38 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page