Menjadi seorang pekerja lepas atau lebih umum dikenal sebagai freelancer memang terasa keren dan berbeda dengan pekerjaan konvensional yang mewajibkan untuk datang ke kantor dan bekerja rutin setiap harinya. Bagi sebagian orang yang punya pola pikir lebih maju, bekerja sebagai freelancer terasa lebih 'modern' dan 'keren'. Bagaimana kalau saya bilang itu benar tapi juga tidak?
Sumber: Zacuto.com
Semakin beranjak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, semakin kompleks pula pertanyaan yang muncul di kepala terkait pekerjaan. Apakah sebaiknya mengejar karier yang mendatangkan prospek lebih cerah, atau yang sesuai dengan minat dan bakat? Pertanyaan tentang dunia kerja saat itu terasa masih cukup asing bagi saya. Daripada sibuk menebak-nebak, saya memutuskan langsung ‘nyemplung’ semasa kuliah ke dunia kerja.
Dengan bermodalkan idealisme dan koneksi dari lingkar pertemanan, saya menempuh jalan menjadi seorang penulis lepas. Awalnya tentu saya merasa senang karena selain bisa mengasah kemampuan dalam bidang menulis dan menghasilkan uang sendiri saat masih berstatus mahasiswa, saya juga bisa bekerja di mana saja dan kapan saja. Terdengar seperti impian, bukan? Sempat juga pada suatu titik saya merasa mampu menafkahi diri dengan terus-menerus menempuh jalan karier ini selama saya tetap memberikan hasil pekerjaan yang baik. Terkesan sangat jemawa dan naif juga saya di masa itu.
Akan tetapi, ada satu hal yang sangat penting dan yang mungkin sempat saya anggap remeh di awal, yaitu jejaring. Saya bisa saja terus mengiklankan jasa yang saya tawarkan di media sosial pribadi, tapi jumlah orang yang memutuskan untuk menggunakan jasa yang saya tawarkan tentu tidak sebanyak mereka yang memiliki koneksi luas.
Lantas, apakah solusinya adalah dengan menyampaikan layanan jasa saya ke muka setiap orang yang saya kenal dan saya temui? Tentu tidak. Justru seringnya cara ini membuat orang kian enggan bekerja sama dengan saya. Setelahnya, saya pun memutuskan untuk menempuh langkah konvensional, yaitu menjadi karyawan tetap di sebuah perusahaan.
Tentu saja ada pro dan kontra dari masing-masing jalur ini. Pronya? Dengan menjadi karyawan tetap, saya memiliki safety net dari segi finansial. Sesuatu yang terus saya khawatirkan sebagai penulis lepas terutama saat pekerjaan sedang sepi. Namun, saya pun jadi punya jam masuk dan pulang kantor padahal selama saya bekerja lepas hal ini tak perlu saya pusingkan selama handphone/laptop terhubung ke jaringan internet.
Ada kalanya saya berusaha menjalankan tugas sebagai karyawan tetap dan penulis lepas secara bersamaan. Meski niat awalnya untuk mendapatkan cuan yang lebih, lama-kelamaan saya merasa kelelahan; bekerja di kantor dari pagi hingga malam, lalu sepulang kantor bukannya beristirahat, malah menyelesaikan pekerjaan sampingan. Belum lagi jika pekerjaan kantor sedang padat-padatnya dan mengharuskan saya untuk lembur. Tak jarang juga saya harus menghabiskan akhir pekan dengan menuntaskan pekerjaan yang sudah ditagih-tagih. Waktu istirahat yang tersisa hanya waktu tidur di penghujung hari. Sementara tidur adalah momen yang selalu saya nikmati sepenuh hati. Oh, belum lagi waktu untuk bercengkerama dengan orang-orang terdekat dan untuk hobi pun semakin menipis.
Sekarang sudah setahun saya menjadi karyawan tetap, saya bisa dengan yakin mengatakan bahwa langkah inilah yang terbaik. Work-life balance saya masih terjaga, penghasilan stabil, dan saya bisa lebih berkembang di bidang yang saya minati. Pada akhirnya, tidak selamanya menggapai impian itu harus melalui jalur independen. Jalur konvensional seperti bekerja kantoran juga sangat memungkinkan. Bekerja kantoran sembari mengambil pekerjaan sampingan juga tidak menjadi masalah selama masih bisa mengatur waktu dengan baik. Seperti kata pepatah, “Ada banyak jalan menuju Roma”. Pelajaran hidup yang bisa saya petik adalah pilihan yang sempurna itu memang tidak ada. Yang ada hanya pilihan yang paling mending. Bagi saya, mending kerja kantoran (tambah kerja sampingan kalau masih sanggup). - HL
Comments