K-pop dan komunitasnya adalah salah satu topik yang sedang marak diperbincangkan khalayak luas beberapa waktu belakangan ini. Selain mendapatkan perhatian dan pujian yang sangat besar, K-pop juga menuai cibiran dan dikritisi sama kerasnya. Kritik ini biasanya tertuju pada penampilan atau visual para artisnya yang sering dikomentari terlalu cantik. Sudah tak lagi menjadi rahasia bahwa laki-laki di industri K-pop terlalu cantik bak perempuan. Nada nyinyir ini pun datang semakin bertubi karena fakta industri yang melanggengkan praktik operasi plastik dalam banyak kasus.
Tak perlu dimungkiri lagi bahwa visual adalah aspek yang paling ditonjolkan dari industri ini. Kata ‘visual’ sendiri bukan menjadi sebuah kata sifat lagi, tapi juga sebuah istilah yang sudah cukup umum dan menyimpan banyak arti di ranah K-pop. Ambil contoh salah satu member yang terlihat lebih menonjol dari segi penampilan akan dijuluki sebagai seorang visual oleh para penggemar. Hingga akhirnya lahirlah posisi ‘visual’ atau ‘center’ yang diberikan agensi kepada sang anggota tersebut. Sayangnya, banyak orang awam yang tidak tahu akan hal ini.
Arti lainnya, ‘visual’ dalam K-pop biasanya juga mewakili eksekusi konsep kreatif dari produk-produk yang dilahirkan seperti album art, music video, stage performance, stage costume, dan banyak lainnya. Ketika banyak orang di luar komunitas K-pop ini lebih familiar dengan album art yang ditempelkan secara digital setiap mendengarkan lagu di aplikasi atau layanan musik pilihan, komunitas penggemar K-pop sudah lama mengenal album packaging.
Sebuah album bukan hanya sekumpulan lagu yang telah direkam kemudian dihiasi dengan ilustrasi pada sampulnya, tapi juga sebuah paket lengkap yang memiliki branding terkonsep. Setiap album musik hadir lengkap dengan photobook dan gimik lainnya untuk mengantarkan konsep sebuah comeback, istilah untuk serangkaian kegiatan dalam rangka mempromosikan rilisan lagu-lagu terbaru.
Dibalik kritik yang hanya berdasarkan penampilan individu dan bukan produk yang dihasilkan (yaitu tentu saja, musik), eksekusi konsep sebuah album K-pop tidak pernah main-main. Ambil contoh dari salah satu boygroup yang sedang mendunia, yaitu BTS. Pada tahun 2017, BTS terkenal dengan trilogi yang melatarbelakangi setiap konsep comeback-nya dan cerita fiksi yang diperankan oleh setiap anggotanya. BTS merilis full album ketiga yang berjudul WINGS dengan mood dan tone yang gelap. Berlatar belakang cerita trilogi sebelumnya yaitu The Most Beautiful Moment In Life, album ini menceritakan sekumpulan anak laki-laki yang mengalami keserakahan hidup pertama kalinya setelah melalui masa-masa indah dalam hidup, lalu menghadapi penderitaan terdalam akibat dari keserakahan tersebut.
Untuk menggambarkan penderitaan yang dirasakan para anak laki-laki tersebut hadir sosok seekor burung yang susah payah keluar dari cangkangnya dan terbang untuk pertama kalinya. Latar belakang tersebut dirangkum menjadi sebuah tema Boy Meets Evil dan diambil dari sebuah novel oleh Herman Hesse yang berjudul Demian.
Sumber: Kdesignaward.com
Tema album tersebut dapat disimpulkan dengan mengutip kalimat yang ada dalam novel Demian. “The bird fights its way out of the egg. The egg is the world. Who would be born must first destroy a world. The bird flies to God. The God’s name is Abraxas.” Dari kalimat tersebut, tercipta nama WINGS dan logo yang merepresentasikan simbol serta cerita dalam novel Demian, juga menjadi diagram keterkaitan setiap anggota BTS di dalam cerita fiksi yang diperankan para anggotanya.
Sumber: Kdesignaward.com
Saat sebuah comeback mempunyai branding yang baik, produk turunan lainnya yang juga merupakan rangkaian promosi akan mengikuti identitas utamanya. Dari sekian banyak turunan tersebut tentunya yang paling menonjol dan krusial dalam merepresentasikan sebuah comeback dari grup K-pop adalah music video. Semua produk dirangkum menjadi satu, mulai dari musik sebagai produk utama, koreografi, identitas dan konsep masing-masing anggota grup, kostum, dan jalan cerita dari konsep yang ingin dibawakan.
BTS dan comeback-nya dengan album WINGS hanyalah segelintir produk dari puluhan produk K-pop di pasar saat ini. Begitu banyak grup, agensi, serta desainer yang dengan pemikiran kreatif panjang dan mendalam membentuk sebuah konsep dan visual yang tepat untuk mencerminkan identitas yang ingin dilihat oleh penikmat musik.
Banyak sekali khalayak awam yang terjebak dalam stigma “K-pop hanya tentang lelaki dan perempuan cantik tanpa ada kualitas lain”. Beberapa orang juga hanya mengonsumsi produk akhir dan paling menonjol yaitu music video yang memang cukup krusial untuk mengantarkan keseluruhan konsep kepada audiens, namun abai dalam melihat proses kreatif dan perencanaan konsep yang telah dilalui. Akibatnya, stigma itu semakin tertanam. Padahal sangat disayangkan saat seseorang terhambat untuk menikmati sebuah karya hanya karena satu prasangka yang terbentuk imbas dari pandangan sosial terhadap suatu hal yang berbeda.
“You’ll like BTS music (or K-pop in general), if you listen without prejudice.” — SUGA, anggota BTS.
- TH
Comments