top of page

Mengapa Hal-Hal 'Cringe' Kini Lebih Bisa Diterima & Dirayakan?





“It’s not even cool to be a hater anymore.” 

Kalimat tersebut terucap dari mulut seorang bintang Hollywood, Robert Pattinson, dalam sebuah sesi wawancara untuk promosi salah satu film yang dibintanginya. Dalam percakapan tersebut, lawan mainnya saat itu, Zoë Kravitz, mengatakan bahwa ia tidak menonton film Twilight dan Pattinson menanggapinya dengan kalimat di atas. “That’s so 2010,” tambahnya.


Pada era itu, menonton seri film Twilight bisa dianggap sebagai sebuah guilty pleasure — sesuatu yang disukai secara diam-diam dan cenderung memalukan jika diketahui orang lain. Namun kini, hal-hal yang dulu dianggap memalukan atau cringe—seperti Twilight—justru mulai diterima, bahkan dirayakan. Di zaman sekarang, apa yang dianggap memalukan bisa menjadi simbol keberanian untuk menunjukkan otentisitas.


Pergeseran ini mencerminkan bagaimana reaksi audiens terhadap produk konten berubah, khususnya di era media sosial yang sangat berkembang ini. Media sosial, terutama TikTok, telah memainkan peran penting dalam mengubah cara kita melihat tren-tren yang semula dianggap aneh atau cringe tersebut.


Fenomena ini juga tidak hanya terbatas pada budaya Barat. Di Indonesia, sejak tahun lalu, saya melihat hal ini fenomena ini menjamur, bahkan mempengaruhi kultur pop tanah air. Salah satu contoh paling nyata adalah lagu viral TikTok Garam dan Madu, yang bergenre HipDut—gabungan antara hip-hop dan dangdut. Lagu ini berisi lirik dan nuansa musik yang secara tradisional terasa cringe, justru mendapatkan respon positif yang luar biasa. Bahkan, banyak musisi ternama mengapresiasi lagu ini. Tak bisa dipungkiri, lagu ini sempat terngiang di ingatanmu juga, kan, beberapa waktu terakhir? 🤭


Apa konten cringe lain yang kamu temukan akhir-akhir ini? Bagaimana dengan konten viral lainnya bernama velocity—efek slowmo patah-patah yang ada di TikTok? Pasti efek ini sudah sering mondar-mandir di media sosial kalian, kan. Gerakan joget diiringi oleh sound remix jedag-jedug. Yup, dari penjelasan singkat saja, sudah terdengar cukup brainrot. Namun meski begitu, hebatnya konten ini berhasil menarik perhatian dan diikuti oleh banyak kreator media sosial dari beragam kalangan usia, sosial, ekonomi, budaya, hingga pendidikan. 


Yang menjadi pertanyaan saya: Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Mengapa respons audiens terhadap konten-konten cringe kini berubah? Untuk menjawabnya, kita mungkin bisa melihat dua teori yang cukup berkaitan dengan fenomena ini, yaitu Teori Subkultur dari Dick Hebdige dan Teori Media Baru dari Henry Jenkins.


Menurut Dick Hebdige dalam bukunya Subculture: The Meaning of Style (1979), subkultur sering kali muncul dengan simbol atau gaya yang awalnya dianggap aneh atau menyimpang oleh masyarakat luas. Namun, seiring waktu, simbol-simbol ini diterima dan bahkan menjadi bagian dari budaya mainstream



Ini yang terjadi pada TikTok, di mana tren-tren yang dulu dianggap cringe atau memalukan — seperti lagu Garam dan Madu atau efek velocity—justru menjadi sangat populer. Media sosial, khususnya TikTok, menciptakan ruang bagi subkultur baru untuk berkembang. Hal ini memengaruhi bagaimana kita menerima dan menikmati budaya populer, bahkan yang sebelumnya dianggap tidak "normal."


Di sisi lain, Henry Jenkins dalam bukunya Convergence Culture (2006) menjelaskan bagaimana media baru seperti TikTok memungkinkan audiens untuk tidak hanya mengonsumsi konten, namun juga untuk berinteraksi dengannya. Jenkins menyebutnya convergence—proses di mana audiens tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga berpartisipasi aktif dalam menciptakan dan menyebarkan konten.


TikTok, dengan berbagai fiturnya, memberikan kebebasan bagi penggunanya untuk membuat dan menyebarkan konten baru sekreatif mungkin. Dengan begitu, audiens dapat menciptakan makna baru dari tren yang ada, termasuk yang sebelumnya dianggap cringe. Pengguna media sosial bisa mengekspresikan diri mereka dengan cara yang lebih bebas dan otentik, tanpa terikat oleh standar sosial.


Kedua teori ini membantu kita memahami mengapa sesuatu yang dulu dianggap cringe kini justru bisa diterima dan dirayakan. Media sosial memberi ruang bagi audiens untuk merayakan otentisitas dan keberagaman tanpa takut dianggap aneh. Apa yang dulu dianggap memalukan kini menjadi simbol keberanian untuk menunjukkan siapa diri kita yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan pergeseran besar dalam cara kita melihat budaya dan ekspresi diri di era digital ini.


Namun tetap perlu diingat, meski media sosial memberi kebebasan untuk mengekspresikan diri, kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam polarisasi. Di tengah fenomena viral, Indonesia kini sedang menghadapi krisis politik, ekonomi, dan sosial yang sangat mendesak. Isu-isu seperti ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, dan ketegangan politik membutuhkan perhatian serius kita sebagai warga negara. Jangan sampai kita terlalu larut dalam tren sementara, hingga mengabaikan tanggung jawab untuk ikut serta memperjuangkan masa depan bangsa. -LE





 
 
 

Comments


Element Simpul - Smile - Stories

CONTACT US

Jakarta, Indonesia

INSTAGRAM

LINKEDIN

© 2017 by Simpul Group

bottom of page