Katanya: Kalau tak kenal maka tak sayang. Terasa benar adanya. Masih ingat jelas, sekitar akhir Agustus 2019 lalu untuk pertama kalinya dapat kabar bahwa Pear Press akan menggarap buku baru.
Chat di WhatsApp Grup dimulai dengan, “Ada yang dengerin Agatha Pricilla, Hindia, .Feast, Mothern, atau Aldrian Risjad enggak?” terkirim tepat pada 26 Agustus 2019.
Lalu jawaban saya hanya, “Ndak… aku kurang dalam referensi musik.” Sementara di grup mulai bermunculan jawaban si A dengerin Hindia, B dengerin .Feast, dan lainnya.
Setelahnya hati terusik. Wiw. Apa tuh Sun Eater? Googling ah.
Ternyata itu menjadi awal yang membawa pada ketenggelaman tak berujung sampai hari ini. Tenggelam dalam arti yang menyenangkan karena saya menikmati proses berkenalan dengan Sun Eater yang dahsyat.
Memasuki September 2019, saya ikut meeting membahas konsep buku Antologi Matahari. Perkenalan pertama dengan Mas Sahid dan Mas Kukuh yang ternyata satu tahun kemudian saya recoki terus dengan mengirimkan e-mail hingga tengah malam.
Seperti halnya buku Pear Press lainnya, saya kebagian tugas sebagai editor dari Pear Press. Biasanya dalam proses pembuatan buku, setelah meeting perkenalan dan membahas nantinya buku ini akan dibuat seperti apa, pertukaran referensi baik dari sisi teks maupun visual dilakukan, dan dilanjutkan dengan proses penulisan dari penulisnya.
Masih ingat jelas juga, buku pertama yang tiba di email Pear Press adalah “Jadi, bagaimana?”-nya Aldrian Risjad. Rasanya waktu itu, “Duh gercep nih, suka sama penulis yang begini. Cepet dan tepat deadline.” Datangnya bukan juga printilan tapi sudah utuh 1 buku. Saya pun larut dalam kegelisahan yang dilontarkan Aldrian di tiap pertanyaan yang dituangkannya dalam buku ini.
Saat itu saya mendengarkan lagu Aldrian, “Milk Candy”, sebagai upaya perkenalan. Ditambah googling sana-sini. Setelahnya saya bisa merasakan tulisan ini cukup jujur. Kegelisahan yang dilontarkan Aldrian dalam pertanyaan dan uraiannya terasa nyata. Proses editing juga tidak terlalu rumit karena tampaknya alur berpikir Aldrian cukup runut dan mudah dicerna.
Sebagai editor, saya selalu berupaya memosisikan diri sebagai penulis sekaligus pembaca. Tentu pengalaman editing saya belumlah seberapa. Tapi setidaknya saya menikmati proses membaca buku dan cukup terobsesi pada penulisan Bahasa Indonesia yang baik. Saya menghindari mengutak-atik tulisan asli penulis terlalu banyak. Karena pada akhirnya saya editor bukan pemilik ide dan naskah asli. Peran saya adalah memberikan saran dan sudut pandang lain, yang bisa saja diterima ataupun ditolak oleh sang empunya tulisan.
Buku kedua yang saya terima adalah “The 4 Stages in Being Yourself Again”, rasanya menyenangkan. Segar. Ada semburat semangat riang setiap saya membaca ulang tiap barisnya walau tak semua tentang suka cita. Seperti membaca Instapoet, fenomena puisi yang banyak beredar dan digandrungi di Instagram saat ini.
Kita diajak berkenalan dengan fase demi fase yang dialami seseorang kala mengarungi hidupnya. Ada banyak rasa yang dilontarkan dalam buku milik Agatha Pricilla dan Salma Chetizsa ini. Sebagai perempuan, saya kenal sekali rasa yang dibagikan dalam untaian kata yang disusun rapi lewat puisi-puisi indah di buku ini.
Bergeser ke “Hindia Menjawab”, tekanan itu saya rasakan. Saya bingung menempatkan diri dengan perspektif Hindia yang digemari dan fenomenal. Saya mulai dengan mendengarkan album “Menari dengan Bayangan” di perjalanan KRL pulang-pergi kantor. Sampai hari ini, saya nyaris hafal semua lagu di album tersebut. Walau, lagu favorit saya masih “No One Will Find Me” dan “Tidak Ada Salju di Sini, Pt. 4”.
Saya bahkan baca banyak sekali takarir (caption) IG-nya agar tahu Baskara ini nulis ‘enggak’ atau ‘nggak’ atau ‘gak’ atau malah ‘tidak’. Sepele ya, tapi saya tidak mau mengubah image Hindia bagi pendengarnya. Kewajiban saya memastikan konsistensi kehadiran Hindia bagi kalian yang mendengarkan lagunya, dan nantinya membaca tulisannya.
Buku ini saya bayangkan sebagai sesuatu yang akan digemari para penggemar Hindia. Sesuatu yang cukup personal. Karena Hindia akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang dari teman-teman semua. Mengulik perspektif pribadi Baskara sebagai Hindia dalam memandang dan menjalani hidup.
Proses pengerjaan buku ini sempat tertahan. Bukan dalam pengerjaan isinya, tapi pada rencana penerbitannya. Pandemi melanda. Sun Eater yang tadinya diburu waktu naik cetak jadi punya kelonggaran waktu. Saya juga jadi punya waktu “berkenalan” yang lebih lama. Proses editing bolak-balik pun terus terjadi.
Di saat bersamaan, urusan visual pun mulai masuk. Kini tugas saya tidak hanya mengerti tulisannya, tapi juga mengecek tatanannya di layout buku yang sudah jadi. Tentu bekerja berbarengan dengan tim visual Sun Eater dan Pear Press.
Sampai masuk buku keempat, komik “After Dark” milik Mothern. Kembali saya berpindah, Spotify pun memutar lagu Mothern, “Hilang”, berulang kali. Saya sempat terlarut dalam kengerian dan kegelapan yang dibawa dalam komik yang juga berwarna “hitam” ini. Tapi karena komik, saya punya kesempatan menelaah maksud gambar-gambar yang tersaji.
Pengalaman baru, ngedit komik. Saya baca komik aja lamanya minta ampun karena bingung mau fokus baca teks atau lihat gambar, apalagi ini saya harus ngedit bukunya. Bolak balik saya baca semua teks, kelar. Balik lagi ulang dari halaman pertama, kali ini cuma buat liatin gambar. Sampai saya meminta bantuan Handoko, yang saya yakin lebih punya banyak pengalaman baca komik daripada saya.
Sembari berjalan mengecek empat buku tadi, buku “Prolog Matahari” menghampiri. Di sini saya tahu lebih banyak soal Sun Eater. Hal-hal yang saya tidak pernah tahu walau sudah bolak-balik baca wawancara mereka di media, buka website-nya, cek Instagramnya, dan googling sana-sini.
Saya benar-benar diajak berkenalan dengan Sun Eater lebih dalam. Seperti perjalanan menguak Sang Penelan Matahari. Proses ini sangat membantu dalam tahapan editing selanjutnya. Bagi saya, berkenalan lebih jauh dengan penulis buku/naskahnya akan menjadi kunci untuk melancarkan proses editing.
Buku yang sebenarnya paling saya nanti, “Perjalanan Singkat ke Multisemesta” akhirnya tiba juga. Yang terakhir tapi yang paling menekan saya sejujurnya. Karena saya tahu tidak mudah menguak dan mengerti perkara Earth-01 dan Earth-Earth lainnya yang sudah sangat melekat pada .Feast. Belum lagi, saya bukan orang yang mendengarkan lagu terlampau “berisik” seperti rock.
Seminggu setelah naskah saya terima, saya hanya bolak-balik baca. Tidak bisa saya berikan masukan editing yang lebih dari sekadar merapikan struktur tulisan (itu pun sangat sedikit) dan membenarkan typo, tanda baca, dan penulisan sesuai KBBI/PUEBI.
Waktu kian sempit, saya kian dikejar deadline. Sampai suatu sore, saya memutuskan mendengarkan lagu .Feast yang tersohor, Peradaban. Saya coba meng-edit sambil mendengarkan lagu-lagu .Feast. Saya pilih dan putar asal saja di Spotify. Tak disangka tak dinyana, edit-an saya kian lancar. Saya mulai mengerti cerita yang dibangun Baskara dan Rivanlee dalam buku ini. Masukan yang saya berikan bisa lebih luas dari sekadar typo. Hari-hari saya mulai padat karena penuh sesaknya kepala dengan lirik lagu .Feast.
Saya mulai bergeser dari yang rutin mendengarkan Hindia, menjadi penikmat “Kelelawar”, lagu .Feast yang saya dengar berulang kali hingga pagi yang seringnya menjemput duluan sebelum saya tuntas meng-edit. Saya yang tidak kenal perkara Earth, cerita andalan .Feast ini saja larut dan menikmati proses editing cerpen yang serius ini, apalagi teman-teman yang memang mengikutinya sejak lama.
Pasalnya, sebagai gambaran, saya harus bolak-balik mengecek masukan dan editing dari pihak GPU. Karena Pear Press adalah hasil kerja sama Simpul Group dan GPU, maka tahapan editing dan proofreading berlangsung dari dua belah pihak. Biasanya dimulai dengan editing dari saya, balik ke penulis, saya cek lagi, lalu kirim ke editor GPU, kirim ke penulis, revisi penulis, editing saya, editing editor GPU, penulis lagi, dan begitu seterusnya sampai semua pihak puas dengan tulisan akhir bersama.
Ketika buku Aldrian, Agatha, dan Mothern rampung baik dari sisi teks dan visual, saat itu pintu kesempatan lain terbuka ketika sebuah kalimat disampaikan ke saya, “Sekalian PM-in ya bukunya, Nam, sampai terbit.” Di sini pula awal saya berkomunikasi langsung dengan Ruth, editor dari GPU.
Wiw yang kedua. Selama di Pear Press, saya editor semua bukunya, tapi belum pernah menjadi PM buku yang utuh. Sekalinya dapat kesempatan, bundle isi 6 buku. Editor dan PM, asik-asik yang buat bergidik.
Hari-hari yang kian padat menjemput. Saya masih berkutat dengan editing buku Hindia yang banyak kendala dari sisi visual (karena saya tak lagi hanya editor, ini peran saya untuk memastikan materi dari Sun Eater sampai dengan baik ke tim visual Pear Press). Sembari meng-edit, sembari me-manage semua berjalan sesuai timeline. Dari yang menerima assignment dengan deadline jadi yang membuat timeline, menentukan deadline sembari memenuhi deadline itu sendiri.
Perkara editing selesai, tahap selanjutnya adalah memastikan perkara percetakan, tanggal terbit, launching, proses tanda tangan buku untuk tahap pre-order sebagai upaya pemasaran buku. Komunikasi kini bertambah, antara Pear Press, GPU, dan Sun Eater semakin tinggi intensitasnya.
Sejak Agustus 2020, kesibukan beralih mempersiapkan naskah final (karena sekali masuk ke percetakan, tidak ada waktu untuk mundur). Target terbit ditetapkan. Setelah menunggu lebih dari 3 minggu untuk antrian menunggu harga jual resmi, mengatur jadwal agar bisa proof print terlebih dahulu sebelum dicetak massal, dan tentunya sembari mendaftarkan buku-buku tersebut untuk mendapatkan nomor ISBN.
Saya ingat, akhirnya setelah menunggu sekian lama, Senin, 31 Agustus 2020, saya mampir ke kantor GPU dan melihat langsung wujud fisik buku yang saya asuh bersama Ruth dan Kak Kresna sejak September 2019 lalu. Proses proof print sendiri berlangsung sekitar dua jam dengan penyesuaian di beberapa tempat. Sempat membuat buku tertunda sekitar seminggu untuk naik cetak tapi daripada menghadirkan buku yang tidak memuaskan bagi semua, bukan?
Tidak bisa saya jabarkan secara detail, bukan karena kerahasiaan, tapi lebih karena teks ini sudah terlampau panjang.
Intinya, buku ini datang dari kerja keras banyak pihak. Banyak malam yang kami lalui untuk memberikan hasil terbaik bagi teman-teman semua. Saya sendiri sering kali melawan batas normal dengan mengirimkan chat ke Mas Rivanlee (penulis .Feast) lewat jam 9 malam hanya untuk berdiskusi satu kalimat di buku yang saya ragu. Atau saya chat Mas Sahid tanpa kenal waktu karena memastikan tidak ada printilan yang tertinggal.
Oh, jangan tanya isi chat saya dan Ruth. Waktu tak lagi jadi batasan. Kapan ingat ya langsung ketik dan kirim saja daripada terlupa atau terlalu lama lewat deadline.
Buku ini akan mulai dijual dengan harga khusus Rp133.500 pada Selasa, 22 September 2020 mendatang dengan metode pre-order. Pemesanan bisa dilakukan di akun Shopee Gramedia Official Shop. Periode pre-order berlangsung dari tanggal 22—30 September 2020 dan nantinya buku yang dipesan pada periode ini sudah bertanda tangan seluruh penulis buku Antologi Matahari.
Buku ini akan tersedia di toko buku Gramedia baik offline dan online segera (nantikan kabar selanjutnya di akun Instagram Pear Press) dengan harga jual Rp178.000. Satu bundle Antologi Matahari sudah termasuk 6 buku yang ceritanya saya bagikan di atas.
Lalu, mana buku yang menjadi favorit saya? Semua saya nikmati dengan khidmat dan menempati tempat khusus di hati saya (mohon maklum, saya editor Libra yang baperan dan sentimental, ditambah saya sangat indecisive. Tulisan ini bisa terbit setelah buku tersedia di toko buku kalau saya harus mikirin mau pilih yang mana).
Jadi, saya serahkan pada teman-teman. Biarkan buku-buku ini memenangkan tempatnya sendiri di hati kalian. Setiap buku punya kekuatannya masing-masing. Pesan saya, coba baca bukunya sembari mendengarkan lagu dari masing-masing artisnya. Lebih syahdu buat saya, mungkin bisa jadi pengalaman baru juga buat teman-teman.
Selamat menikmati kerja keras Sun Eater, Pear Press, dan GPU ini. Sampai bertemu di rumah masing-masing! - ND
Comments