top of page

Secuil Cerita di Balik Kerja dari Rumah

Dari salah satu staf Simpul yang sedang mengikuti anjuran pemerintah untuk #dirumahaja, yang sudah bosan dengan konten-konten encouraging di luar sana. Sedikit curhat dari balik pintu rumah tentang balada Work from Home.


Aku enggak tahu banyak tentang pandemi ini, wajar saja karena jarang lihat berita. Sebagai caraku terhindar dari stres dan rasa takut, mungkin. Yang kutahu, sudah berminggu-minggu aku enggak naik MRT ke kantor lagi, sepatu tertata rapi di rak, dan perjalanan ke minimarket jadi perjalanan paling menantang dan menegangkan.


Rutinitas pergi ke kantor lima hari seminggu tiba-tiba buyar, digantikan dengan lima hari duduk di atas kasur sambil memandangi laptop sampai rasanya punggung ini sudah tumbuh tempurung. Akibatnya, area kerja ideal yang sudah terwujud harus terbengkalai di Bambu Kuning yang sepi dan terpaksa digantikan dengan meja lipat kecil dengan segala benda kebutuhan sehari-hari tergeletak di sana dan sini, mempengaruhi produktivitas dan kebahagiaan dalam bekerja.

Di saat-saat seperti ini, hampir semua orang (enggak semua orang, sih, tapi ada beberapa influencer) bilang kalau momen ini harus digunakan sebaik-baiknya, banyak berjemur, olahraga, buat DIY! “Stay positive, guys!


Ya, ngomong memang gampang, sih. Tapi, pada kenyataannya enggak bisa selalu positif. Lagi pula, konten positif udah banyak di luar sana. Mungkin enggak mengapa kalau kita sambat sedikit.


Sejak WFH jadi banyak waktu yang dihabiskan dengan tenggelam dalam rasa rindu bekerja di kantor. Terutama saat-saat rapat kerja mingguan yang biasanya akan dilaksanakan di meja ruang belakang kantor yang luas dengan hingar-bingar ledekan yang disambut tawa renyah teman-teman, sekarang harus dilakukan dengan sekadar mendengar suara masing-masing tanpa bisa melihat ekspresi teman-teman. Walaupun bersyukur bisa berkomunikasi dengan manusia, rasa sedih dan sepi datang terus setiap harus menutup telepon setelah rapat selesai.

Apa pun kejadiannya, jam makan siang tetap menjadi waktu favorit. Apalagi kalau tinggal di rumah dan dimasakin orang tua tercinta, mudah dan praktis. Tapi makan siang juga terasa hambar karena biasanya dibumbui ribut-ribut yang diawali dengan pertanyaan keramat “Mau maksi apa, nih, hari ini?” yang berakibat 1 jam debat hingga akhirnya bisa makan dengan tenang sambil berbincang santai.

Walaupun kurang berdebat dengan orang-orang mengenai menu makan siang, anehnya sering terjadi perdebatan dengan diri sendiri setiap ada niat untuk mandi. Perdebatan sengit ini terjadi dari pagi sampai sore, kecuali perlu video call dengan klien atau rekan kantor lainnya. Berhubung fenomena tersebut jarang terjadi, rasa malas biasanya memenangkan perdebatan. Alhasil, handuk tersampir di bahu dari pagi hingga jam kerja selesai. Saat hal ini terjadi, biasanya menatap cermin jadi pengalaman yang cukup traumatis dan membuat berandai-andai, “Kapan ya, bisa rapi dan pakai baju bagus lagi?”

Hal-hal sepele ini sebenarnya berpengaruh besar terhadap produktivitas kerja dan seharusnya tidak boleh dipraktikkan terus menerus. Banyaknya konten-konten positif di luar sana, yang walaupun baik, enggak membuat semua orang tergugah untuk ikutan produktif dan positif sepanjang hari. Saat sedang merasa tidak sanggup untuk produktif, selow aja, enggak perlu merasa bersalah!


Mungkin nanti kerinduan akan rutinitas sehari-hari sebelum datangnya pandemi ini bisa membuat badan tergerak. Mungkin akan tumbuh motivasi untuk melakukan hal yang kalau ini semua sudah selesai bisa jadi bahan obrolan di meja tengah kantor, yang tentunya bisa terjadi setelah pemilihan menu makanan yang sengit. Mungkin, bisa jadi pengetahuan baru yang siap kamu pamerkan di depan seisi kantor.


Tenang, nanti ada kok waktunya berkumpul lagi. Ketika pertanyaan, “Ini kapan selesai, sih?” sudah terjawab. -TH



64 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page